Rakyat Papua Dalam Badai (DEHUMANISASI
Dalam priode kontemporer ini Rakyat (west papua) yang didalamnya terdiri dari suatu struktur primaida kerucut yang menandakan hirarki penindasan tak kunjung berakhir. kebanyakan jatuh dalam jurang kemiskinan dan sunami kemanusian ( Penindasan Nasional) serta secara ekonomi dll mengantukan nasib terhadap kutu busuk lingakran konshervatis yang berjubah klonialis and kapitalis yang telahir sebagai kelompok penindas, penggisap dan pengguras. Pada rakyat kerucut yang demikian. Sayangnya Kesadaran tengelam hanyut dan megantungkan diri.
Ironisnya, Dalam struktur masyarakyat yang demikian (rakyat West Papua), mewarnai dengan muncul suatu tata masyarakat yang vertikal bersama pola relasi sosial yang memarjinalisasi.struktur sosial yang hirarkis beserta tendesi marginalisasi ini terjadi baik dalam keluarga maupun dalam sistem sosial, ekonomi dll. Kondisi seperti ini akan terus menjamin berlangsungnya dan tentu menguntungkan kaum penindas.
Tetapi lebih buruk lagi, masyarakat yang kondisi seperti itu akan menghanyutkan masyarakat tertindas untuk menerima dan menghayati nilai nilai dan sikap taat, tinduk, patuh, menerima, miskin inisiatif, dan dogmatis tumbuh sangat subur dalam rakyat west papua dan pada giliranya mengukuhkan watak fatalistis.
Kebanyak Rakyat (west Papua) tenggelam dalam yang menindas, represif, eskploitatif (multy ekpansionisme) dan tak mau lagi menyadari keberadaannya dirinya (dunia yang mereka huni) . Rakyat (west papua) larut dalam sunami penindasan yang masif dan tidak dalam mempunyai partisipasi aktif (apa lagi reaktif terhadap kelu kesa sosial) dalam problem penindasan yang hegomonik terhadap rakyat. Rakyat (west papua) terperangkap di dalam kebudayaan bisu, tuli. Suatu kebudayaan yang merupakan modus keterbelakangan, keterpojokon, serupa rakyat di dunia ketiga.
Tatkala rakyat dalam keadaan takut, para tikus" perdasi, militer, birokratis agama, klonial anjing penjaga pemodal (imperialis) memperkuat kedudukan, kekuasaan kehormatan dengan mengembagkan mitos mitos semisalnya: bahwa menumpuk" kekayaan adalah hak sepatunya dan tak perlu di sangkal lagi: bahwa seseorang menjadi kaya karena ia berusaha keras berani mengambil resiko: bahwa apabila seseorang miskin tertindas tidak dapat hidup layak itu karena ia tidak mampu, malas, serta tidak tauh berterimakasi: bahwa pemberontakan merupakan dosa besar terhadap tuhan: juga cinta kasi kemurahan hati kaum lingkaran konshervatif disebabkan karena mereka rela menolong.
Justru mitos mitor tatkayul ini menyebabkan rakyat (west papua) tertindas dan terbuai dalam ruang ketakutan untuk tak tergerak akan revolusi demokratic (pebebasan). Mereka melembagakan gambaran diri sebagai kaum tertindas yang dalam diri nya membentuk sikap yang turut memperkuat siasat siasat licik kaum tertindas tersebut. Berpandagan bahwa , mereka tak tauh apa apa, sama skali tak berguna, malas dan lemah, tak mengapa mau belajar, adalah surah yang paling akrab mereka dengar. Akibanya mereka buta dan bisu atas realiatas penindasan yang sangat represif, arogangi dan reaksioner. Mereka meyakini bahwa, kondisi objektif mereka itu adalah yang semestinya terjadi dan karena-nya pantas diterima (takdir tuhan). Dengan begitu kesadaran mereka lantas terdistorsi.
Dalam kondisi demikian. Lantas bagaimana sikap kaum kiri responsif terhadap kondisi objektif ? Apakah kita tetap teropsepsi dalam iklim perdebatan ideologi? Atau daya, pikiran dan tenaga kita membebani dalam ruang kontradisi intetnal yang tak politis tampa praktik dalam alternatif ideologis? Pertayaan" ini bukan di jawab juga bukan sebatas refleksi tetapi niscaya mencari formal baru untuk pembebasan nasional bagi rakyat bangsa west Papua.
Komentar
Posting Komentar